Friday, February 11, 2011

Road to Bungin


  Menjelang sore ketika kami memasuki daerah Alas di barat laut Sumbawa (Juni 2010). Setelah melalui perjalanan panjang dari Maluk dan melewatkan pacuan kuda poni di Poto Tano kami pun memasuki jalan kecil berbatu menuju Bungin. Tak ada tanda ataupun penunjuk arah yang menginformasikan keberadaan pulau ini. Hanya informasi dari beberapa orang tak dikenal dan panduan perjalanan dari beberapa blog yang kami cari lewat internet. Sebuah kabar tentang pulau yang dihuni oleh nelayan-nelayan Bugis yang hijrah menyeberangi lautan luas pada masa lampau. Cerita tentang pulau terpadat sedunia dan kabar tentang kambing pemakan kertas.
  Matahari yang mulai redup menyambut kedatangan kami di Bungin, menelusur jalan sepi di pinggiran samudera dan menyeberangi jalan tanah membelah lautan yang sengaja dibuat warga. Pulau yang cukup berantakan menurut saya, gersang, dan penuh dengan ketidakteraturan. Kambing pemakan kertas berkeliaran, penjaja pakaian baru meneriakkan tawaran,  pakaian-pakaian basah bergelantungan,  namun beruntung masih ada suara azan yang dikumandangkan.
  Manusia-manusia lokal berbicara dalam bahasa yang tidak saya mengerti, mungkin heran sembari menyelidik apa yang kami lakukan di tanah mereka. Hanya seikit lelaki dewasa yang kami jumpai, kabarnya pria-pria dewasa di pulau ini lebih lama hidup di laut dari pada di darat. Konon katanya, awalnya pulau ini hanya seluas tiga hektar, namun semakin meluas karena ditimbun para warga untuk dijadikan pemukiman. Mereka lebih memilih tinggal di pulau padat itu daripada harus merapat kedaratan yang lebih luas di pulau Sumbawa. Tak tau kenapa, orang-orang ini tidak pernah memandang rumput tetangga yang lebih indah. Menurut mereka, rumput pulau Bungin yang sama sekali tak berumput jauh lebih indah dari pada rumput mana pun di dunia ini. home sweet home kalau kata orang bule, haha...

 ...

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | free samples without surveys