Sunday, December 26, 2010

Nebeng Motor Diaries (dikenang tanpa pengulangan)


 Dua tahun lalu, di tanggal dan bulan yang sama dengan hari ini. Sehari setelah Natal yang tidak kami rayakan, sebuah perjalanan yang tak akan terlupakan pun kami mulai. Bersama dengan seorang teman , Andi Perdana yang kala itu masih 21 tahun dan saya yang berusia lebih tua memulai langkah awal setelah kumandang azan subuh di Jatinangor. 
  Dari jatinangor, si motor bebek pun melaju melalui garis-garis pembatas dalam peta.  Pertama mencapai Tasikmalaya, kemudian melalui Banjarnegara hingga mencapai Yogyakarta. Menginap di rumah seorang teman di Manding, sebuah daerah pengrajin kulit, di daerah Bantul, perjalanan pun dilanjutkan menuju Solo, melalui Tawangmangu, Magetan,  Madiun, hingga mengakhiri senja di Kediri. Menembus malam di daerah Palur, mengisi perut di kota Malang dan beristirahat di Situbondo.
   Langkah selanjutnya diawali di pagi dingin di Situbondo. Melaju lagi menuju Paiton, salah satu pemasok listrik untuk daerah Jawa,  melintasi taman Nasional Baluran hingga mencapai penyeberangan di Ketapang. Perjalanan malam melalui tikungan-tikungan tajam di Nagara akhirnya terselesaikan pada dua belas malam di pantai Kuta.
   Masa itu, ketika umur mencapai 23 seperti Ernesto "Che" Guevara ketika melintasi dataran Amerika Latin bersama sahabatnya Alberto Granado, Edmiraldo pun melaju melintasi dataran Jawa hingga satu titik di pulau Dewata. 
    "Every generation needs a journey story; every generation needs a story about what it is to be transformed by geography, what it is to be transformed by encounters with cultures and people that are alien from yourself, and you know that age group 15 to 25, that’s the perfect generation to get on a motorcycle, to hit the road, to put on your backpack and just go out." (José Rivera)
     Nebeng motor diaries, sebuah istilah yang paling cocok untuk perjalanan saya waktu itu. Melalui Jalur selatan pulau Jawa kami terus menyusuri titik-titik terindah di pulau ini. Menikmati keindahan alam yang tak terurai dengan kata serta menembus budaya-budaya Jawa yang kaya raya. Menyaksikan penjual-penjual dawet di jalur selatan, penjaja cendera mata di Malioboro, pengayuh sepeda di Baluran, para perenang ulung di Ketapang, bule-bule seksi di pantai Kuta, sampai orang-orang terbuang di kaki Semeru.
   Sebuah langkah yang hanya ternilai dengan mata ketika melintasi jalur-jalur sunyi di Piket Nol, tanjakan-tanjakan tinggi di kaki Lawu, serta jalur berliku di dekat Pujon.  Sangat berterima kasih dengan keramahan Indonesia yang telah menyediakan semua hal menarik ini untuk saya, kami, dan kita semua.
  Mungkin hanya sedikit dari nikmat Tuhan yang tak ternilai harganya, sebuah angurah terindah untuk Indonesia yang belum semua ternikmati mata.  

...

6 comments:

dodoalfredo said...

blogger berbakat *dodoalfredo.com

Edmiraldo Siregar said...

hahahhaa..
tumben lu muji gw Muhammad Amri..
thank u lah klu begitu.
zet z z

Anggoro Suryo said...

banyak yang kena sensor ya ceritanya? waktu cerita ke gw kayaknya lebih seru :p

Edmiraldo Siregar said...

lebih seru apa lebih menyedihkan???
gw himabau lu untuk mengingat-ingat lagi kronologisnya..
hahahhahaha

TABULARASA said...

cerita yang di malang ya?

Edmiraldo Siregar said...

zzzzzzzzzzzzzzzzz

Post a Comment

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | free samples without surveys